KOMPAS.com — Kemiskinan membingkai keindahan alam
Raja Ampat. Primadona wisata di Indonesia Timur itu baru menjadi surga
bagi turis, tapi belum bagi banyak warganya. Turisme bahkan
menghadirkan masalah baru, yaitu penjarahan makam kuno leluhur mereka.
Kemiskinan
Desa Wawiyai di Teluk Kabui, Raja Ampat, memantul di air lautnya yang
tenang dan bening. Gubuk-gubuk panggung dari papan seadanya berdesakan
memanjang di sekitar dermaga. "Kitorang trada rasa hidup di surga,"
kata Ananias Marindal, salah satu warga tertua di Wawiyai, Kamis
(14/3/2013), memberi gambaran kehidupan sehari-hari di desa itu.
Kemiskinan
warga Wawiyai yang seluruhnya berjumlah sekitar 200 orang, terlihat
dari kehidupan sehari-hari di desa itu. Tak ada barang mewah di sana.
Televisi pun belum dimiliki seluruh warga.
Ananias dulunya
nelayan. Kini, seperti banyak warga Wawiyai lain, ia lebih banyak
berburu burung kakatua putih berjambul kuning (Cacatua alba)
yang dalam bahasa setempat disebut yakob. Yakob hidup dijual pada
pengepul dari Waisai, ibu kota Kabupaten Raja Ampat. Seekor burung
dihargai Rp 150.000.
Ananias mengaku, menangkap rata-rata lima
kakatua setiap bulan. Ia berburu dengan dua yakob peliharaannya. Dua
yakob itu bertugas sebagai umpan untuk menarik kakatua liar. Dua satwa
itu tentu bisa bicara bahasa burung. "Kalau teman dia sudah datang,
torang jerat memakai tali," kata Ananias, menerangkan caranya berburu.
Pekerjaan
memburu kakatua menjadi pilihan, karena lebih menguntungkan dan lebih
mudah daripada melaut. Apalagi, solar yang menjadi bahan bakar melaut
sulit diperoleh di Wawiyai. Meski begitu, Ananias belum sejahtera. Uang
yang ia peroleh habis hanya untuk makan sehari-hari.
Dalam
usianya yang begitu renta, sekitar 75-an tahun, Ananias masih harus
menghidupi 10 orang terdiri atas anak, menantu, dan cucunya. Mereka
tinggal di rumah papan yang nyaris tanpa perabotan. Satu set meja kursi
terlihat begitu lusuh dan tua.
Kemiskinan di Desa Wawiyai itu
begitu kontras dengan kemewahan perahu-perahu pesiar yang kerap
bersandar di batas luar Teluk Kabui. Di perahu-perahu itu, listrik
menyala terang-benderang 24 jam. Sementara di Wawiyai, listrik yang
ditenagai genset dan sel surya hanya menyala beberapa jam dalam sehari.
Perahu-perahu bak hotel bintang lima yang umumnya dimiliki orang asing
itu, juga berkelimpahan dengan bahan bakar minyak yang saat ini begitu
sulit diperoleh di Wawiyai.
Wawiyai tersembunyi di balik barisan
puluhan bukit kapur (karst) yang mencuat dari lautan Teluk Kabui.
Barisan tebing raksasa itu tak hanya membentengi desa kecil itu dari
ombak lautan lepas, tapi juga memberi pemandangan menakjubkan lengkap
dengan gua-gua lautnya. Karena keeksotisan alamnya, Teluk Kabui menjadi
salah satu tujuan wisata di Raja Ampat. Namun, turisme belum
menghadirkan kesejahteraan di Wawiyai. Sebagian besar pelancong hanya
melintas dan jarang mampir. Hal ini bisa dipahami karena di Wawiyai tak
ada fasilitas wisata yang dapat menarik turis.
Penjarahan makam kuno
Tak
hanya itu, warga Wawiyai juga mengeluh pencurian makam kuno sejak
terbukanya pariwisata ke Teluk Kabui. Salah satu dari tiga kepala adat
di Wawiyai, Gerson Marindal, memperkirakan ratusan barang hilang dari
makam kuno mereka. Barang-barang yang hilang meliputi tengkorak dan
bekal kubur berupa patung kayu dan piring keramik. "Torang trada tahu
pasti berapa jumlah hilang. Dulu banyak tengkorak di sana, sekarang
tertinggal satu dua," kata lelaki sekitar 70-an tahun itu, kepada
rombongan wartawan yang datang ke Raja Ampat bersama PT Pelindo II atau
International Port Corporation.
Pemakaman tanpa dikubur merupakan
tradisi masa lalu banyak desa yang dihuni suku asli di Raja Ampat.
Jenazah diletakkan di ceruk-ceruk tebing kapur di perairan sekitar
desa. Meskipun tak lagi dilakukan, warga masih menganggap sakral
makam-makam kuno itu dan membersihkannya secara rutin pada hari-hari
tertentu.
Kehilangan itu pernah diadukan ke pemerintah setempat,
tetapi tak ada tanggapan memuaskan. Permintaan bantuan untuk membangun
pos penjagaan atau kapal cepat (speedboat) untuk patroli pun tak dipenuhi. Alasan yang diterima adalah desa mereka tak termasuk kawasan wisata.
Padahal, pada bulan Desember-Agustus, setidaknya dua kapal cepat yang mengangkut turis masuk ke wilayah adat perairan mereka. Speedboat mereka butuhkan karena selama ini perahu-perahu nelayan mereka yang bermesin 15 dan 40 PK tak mampu mengejar speedboat para turis.
Tokoh
pemuda Raja Ampat, Abraham Goran Gaman (43), mengatakan, penjarahan
makam kuno terjadi sejumlah desa di Raja Ampat di Misole, Teluk Maya
Libit, dan Teluk Kabui. Diperkirakan terdapat 10 makam kuno di Raja
Ampat berusia sekitar 300 tahun.
Hal ini sangat merugikan warga
Raja Ampat. Tak hanya kehilangan akar budaya, penjarahan makam kuno
juga mengurangi daya tarik wisatawan yang berdampak pada kerugian
ekonomi. "Sejak makam kuno di Aikor di Teluk Maya Libit, kunjungan
turis ke sana turun drastis," katanya.
Tak hanya penjarahan. Warga
juga kesal karena banyak turis tak mengindahkan batas-batas adat desa.
Sebagian besar dari mereka masuk ke perairan adat Wawiyai tanpa izin.
Padahal, beberapa tempat dianggap sakral dan butuh tata perilaku
tertentu saat memasukinya.
Batas adat ini disepakati secara
turun-temurun bersama desa-desa tetangga. Kawasan adat Wawiyai meliputi
Teluk Kabui itu meliputi pantai di desa hingga sekitar 4,5 kilometer
dari permukiman warga. Di darat, kawasan adat Wawiyai termasuk hutan di
sekitar desa yang dibelah sungai air tawar.
Tersisih
Para
pelaku wisata di Raja Ampat sebagian besar adalah orang asing, seperti
pemilik hotel dan pengelola jasa penyelaman. Merasa tersisih dari
gemerlap wisata di "rumah" mereka sendiri, warga Wawiyai yang pada
dasarnya ramah dan terbuka menjadi waspada pada tiap turis yang masuk ke
wilayahnya.
Warga juga berusaha memungut kontribusi dengan cara
mereka sendiri. Cara yang bagi sebagian orang dinilai tak menyenangkan.
"Kami kejar turis, lalu kami mintai uang. Kalau tak diberi, kami tahan
kapalnya," kata Pieter Feey (17), salah satu warga Wawiyai.
Seperti yang kami alami sendiri. Warga meminta solar 20 liter dan uang Rp 1,5 juta yang akhirnya berhasil ditawar Rp 500.000.
Pungutan
itu untuk mengambil foto situs sakral Telor Raja yang merupakan asal
leluhur mereka. Lokasi situs berada di tengah hutan bakau yang
terpencil. Ketegangan sempat muncul. Jika permintaan ini ditolak,
rombongan wartawan terancam sulit keluar dari lokasi tanpa pemandu
melalui sungai yang beralur berbahaya dan dihuni buaya muara.
Wawiyai
hanyalah contoh kemiskinan di Raja Ampat. Abraham mengatakan, masih
banyak warga di surga wisata itu yang jauh dari sejahtera. "Kawasan ini
memang disebut surga untuk para turis, tapi sudahkah masyarakatnya
hidup di surga?" ujarnya.
Padahal, kata Abraham, pariwisata Raja
Ampat memberi pemasukan besar bagi Pemerintahan Kabupaten Raja Ampat.
Sekitar Rp 3 miliar - Rp 4 miliar setahun dari pungutan masuk Raja
Ampat saja, yaitu Rp 250.000 bagi wisatawan domestik dan Rp 500.000
bagi turis asing. Sebanyak 50 persen dana dialokasikan untuk program
kemasyarakatan.
Namun, menurut Abraham, sejauh ini hasilnya belum
terasa nyata. "Mekanisme penyaluran dana masih perlu dirumuskan lagi,
agar masyarakat Raja Ampat juga merasakan surganya sendiri," katanya.
Salah
satu yang sangat diperlukan adalah pelatihan dan bantuan modal agar
masyarakat Raja Ampat tak tersisih dari pariwasata di daerahnya. Warga
bisa didorong membuat homestay atau membuat kerajinan untuk
cendera mata. Dengan begitu, diharap Raja Ampat benar-benar menjadi
surga bagi turis dan warganya sendiri. Kecuali jika kemiskinan memang
sengaja dipelihara sebagai bagian dari eksotisme wisata.
sumber; http://regional.kompas.com/read/2013/03/31/23065079/Di.Balik.Surga.Wisata.Raja.Ampat..Warga.Tersisih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar